Tuesday, January 4, 2011

Akupun bisa Bershodaqoh

Terkadang karena hati kita sedang lemah, kita bisa saja mengeluh "kenapa ujian ini datang bertubi-tubi? aku tidak kuat lagi" atau menyombongkan diri bahwa ujian kita adalah yang terberat dibanding orang lain. Aku sendiri pernah mengalami salah satu diantara keduanya dan juga pernah menjumpai fenomena lainnya dari orang-orang disekitarku. Mana yang lebih baik? Aku akan menjawab dengan tegas: It's doesn't matter !

Keduanya menurut saya adalah sebuah pengingkaran atas jati diri kita dan atau atas kondisi kita yang sesungguhnya dan keduanya hanya merupakan perwujudan sebuah excuse dari si subjek.
Excuse? ya Kawan, sebuah pembenaran atas apa yang mereka inginkan yang muncul dari ketidak stabilan diri mereka yang terbentuk dari masa lalu. Excuse itu bisa berupa pembenaran untuk menyerah, pembenaran utnuk berhenti berusaha, atau harapan semu untuk dihargai dan dikagumi. Walaupun ia bersifat dinamis, namun bila kita terlatih untuk melihatnya secara jeli maka kita bisa membedakan orang yang telah mengalami ujian berat dalam hidupnya dengan orang yang memberatkan ujian yang dialami dalam hidupnya.

Lalu apa hubungannya dengan judul diatas?

Kawan, aku ingin berbagi cerita tentang sepasang suami istri yang bernama Pak Rahman dan Bu Sumirah. Mereka adalah pasangan suami istri yang hidup sangat sederhana dan mungkin masih berada diambang pintu status "miskin" yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia. Bu Sumirah bekerja sebagai buruh di sebuah gudang tembakau PTPN X. Kalau kalian mau mempertanyakan haram tidaknya tembakau dan rokok, itu urusan kalian, yang jelas sebagai seorang buruh tentu kalian bisa mengira berapa upah buruh tembakau di gudang PTPN yang jelas tak lebih mampu menyamai lomba lari upah minimum kota Surabaya dan Gresik. Klo kalian tidak puas juga baik akan aku beritahu, upahnya Rp 23.000,- perhari. Berangkat jam 06.45 WIB, laot jam 11.30 s.d. 12.30 yaitu pulang sebentar untuk sholat dan menyiapkan makan siang keluarga, dan pulang pukul 16.00 WIB. Kawan, hati-hati kalau melihat satuan jamnya, ini jam tepat waktu kelas internasional bukan standart Indonesia.

Pak Rahman adalah seorang
self-employee, seperti dalam buku Robert T Kyosaki "The Cashflow Quadrant". Menurut buku ini, Pak Rahman disejajarkan dengan seorang dokter, akuntan, dan pengacara. Namun, jangan membayangkan dia bekerja diruangan ber-AC dan bertemu banyak orang bermasalah seperti pada tiga profesi di atas. Bapak satu anak ini adalah orang serba bisa, dia bisa menerima berbagai macam pekerjaan dan mengerjakan berbagai macam hal terutama dibidang pertanian walaupun dia tidak memiliki sawah. Mulai dari mengangkat karung, menanam padi, me-norap padi, memetik kelapa, dan juga pekerjaan rumah tangga seperti membenahi genting atau membangun tembok rumah. Ya, dia adalah seorang self-employee sejati Kawan. Walaupun tidak setiap hari ada order pekerjaan kepadanya, tiap hari ada saja yang dia kerjakan.

Mereka mengikuti arisan di dua tempat yang berbeda, setiap minggu Pak Rahman menggunakan Rp 80.000,- dan Bu Sumirah Rp 70.000,- untuk membayar arisan. Secara sederhana, bila kita asumsikan dalam sebulan ada empat minggu maka mereka menabung uang Rp 600.000,- tiap bulannya. Jumlah itu jauh lebih besar daripada yang mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari dan mungkin jauh lebih besar daripada jumlah yang kita tabung setiap bulan.

Sebagai seorang tetangga, mereka sangat baik sekali terhadap keluarga kami. Bu Sumirahlah yang bersedia merawat kakak ketika aku harus mengantar ibu dan adikku ke kota Ngawi untuk menjenguk Eyang Kakung yang sakit. Kakak yang belum bisa berdiri dan berjalan sendiri terpaksa harus melakukan semua kegiatannya di kasur. Mulai dari makan, menerima telepon, gosok gigi, sampai bersih diri semuanya dilakukan di tempat tidur. Bu Sumirahlah yang memasak untuk kakakku dan membatu semua keperluannya sebelum dia berangkat kerja ke gudang dan Pak Rahman menemani kakakku di malam hari.

Sebelum berangkat ke Ngawi, ibu menitipkan sedikit uang kepada Bu Sumirah untuk keperluan sehari-hari kakakku. Yah, setidaknya cukup untuk membeli keperluan makan sehari-hari dengan menu yang disarankan oleh dokter seluruh dunia, Empat Sehat Lima Sempurna: nasi, tempe, teri, pisang, dan susu. komposisi ini begitu sempurna dan jadi menu favorit kami sekeluarga. dan susu, kalian pasti bergumam dalam hati "ngapain uda besar kok minum susu?". Sakit yang diderita kakakku yang berbadan tegap dan besar adalah kasus patah tulang, Kawan. Tulang betis, tempurung lutut, dan tulang paha kirinya patah bahkan ada yang cuil dan cuilan itu hilang. Rekor baru kasus patah tulang, begitulah dokter di Banyuwangi menyebutnya. So, susu berguna untuk mempercepat tumbuhnya jaringan tulang baru yang hilang dan mempercepat sembunya patah tulang, itulah kenapa setiap hari kakakku berlomba minum susu dengan adikku yang berumur tujuh tahun.

Satu hal yang mengejutkan kami adalah ketika kami berada di kota Ngawi, kakakku bisa makan daging dan hati sapi beberapa kali. Untukku, ini hal yang istimewa karena uang yang dititipkan ibu pasti tidak cukup untuk membeli menu seperti itu dan ketika aku tanya apakah dia menambahi uang untuk beli makan atau meminta menu itu kepada Bu Sumirah. Jwabannya, "
enggak ! tekok ae neng Bu Sumirah." setelah aku tanya ,ternyata Bu Sumirah nenggunakan uangnya untuk membeli bahan menu tersebut. Benar Kawan, menu yang bahkan mungkin sangat jarang dia nikmati, dia berikan kepada kakakku. Orang-orang yang sangat sederhana itu telah memberikan sesuatu yang sangat luar biasa untuk kakakku. Menu daging dan hati sapi sapi yang bahkan sangat jarang mereka nikmati dengan jerih payah mereka.

Mungkin dalam benak kita pernah terlintas, "
enak ya jadi orang kaya. bisa shodaqoh lebih banyak daripada orang bersahaja. banyak shodaqoh berarti peluang masuk surga lebih terbuka lebar." jadi orang kaya lebih mudah masuk surga donk? Nilai sebuah amal adalah hak preogratif Allah yang Maha Adil, Kawan.

Nilai shodaqoh 1jt rupiah oleh orang terlanjur kaya dan low profile ala Madid Musyawaroh dengan nilai shodaqoh 200rb dari Enting Sukaeshi ibunya Tebet tentu berbeda. Uang 1juta mungkin gak begitu bernilai bagi Madid, "wes akeh duite, sampek tak guak-guak" jare Boyo. Tapi bagi keluarga Enting Sukaeshi nilai 200rb begitu berharga dan bernilai. Tidak perduli berapapun nominalnya, nilai sebuah shodaqoh akan terlihat dari seberapa berharganya barang atau uang itu bagi si pemberi shodaqoh.
Dan mereka berdua telah mengajarkan bagaimana bershodaqoh kepada saya, anak muda yang dulu angkuh dan suka foya-foya. So, tidak peduli berapapun gaji kita perbulan, tidak peduli status sosial, dan pujian orang mari kita berlomba-lomba beramal Kawan.

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS. 2:245)


Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at[160]. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (QS. 2:254)

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More