
Kompas juga pernah memuat kisah perjuangan sekolah yang didirikan oleh Ahmad Bahrudin ini. Sekolah tersebut selain menjadi pilihan karena biayanya murah dan diperuntukkan bagi warga tidak mampu, namun dapat menghasilkan output sesuai dengan harapan.

Apa yang dilihat sepintas tersebut ternyata keliru. Sebab mereka adalah murid SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah yang sedang memanfaatkan waktu istirahat, sebelum mengikuti sesi mata pelajaran berikutnya. Layaknya anak umur belasan tahun, kadang mereka terlihat saling mengejek dan mengejar ketika salah seorang anak yang berada di depan komputer diganggu teman yang lain.
Saat ini, Q-T sedang membangun lumbung informasi yang bisa diakses oleh siswa atau warga sekitar yang membutuhkan. Soal akses internet, nggak usah ditanya deh. Di sini, akses internet tersedia bebas 24 jam. Anda mau ngakses dari masjid, dari kebun belakang, dari halaman beranda depan, semuanya bisa asalkan Anda berbekal laptop yang memiliki wi-fi
Bermacam-macam program komputer yang sedang dibuka anak-anak tersebut, mulai dari MS Word, internet, hingga Print Shop Deluxe untuk membuat model gambar dan tulisan. Sepertinya mereka terlalu asyik untuk diganggu siapa saja.
Ketika awal didirikan, sekolah SMP Alternatif ini baru memiliki puluhan murid. Saat ini, untuk tingkat SMA mereka sudah punya dua kelas, sedangkan jumlah siswa keseluruhannya sudah mencapai 150-an orang.
Dari sisi murid, siswa yang tadinya cuma berasal dari Salatiga dan sekitarnya kini mulai lebih variatif. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Jombang, Jogjakarta, juga memberi sumbangan asal siswa. Di sini, mereka tinggal di rumah-rumah penduduk. Soal biaya, orang tua anak sendiri yang merundingkan besarnya "uang pondokan" dengan pemilik rumah yang ditinggali.
Lalu, jangan bicara soal produktivitas di sini. Anak-anak yang umurnya masih belasan, sudah bisa membuat film sendiri. Setiap akhir pekan di akhir bulan, ada pemutaran film ini untuk ditonton ramai-ramai.
Kalau film saja dengan mudahnya diproduksi, apalagi cuma sekadar buku. Di sini, karya-karya siswa sudah dibukukan dan diterbitkan oleh penerbit progresif dari Jogjakarta, LKiS. Juga karya-karya para gurunya.

Di sini, siswa tidak dipatok harus belajar sesuai kurikulum seperti sekolah formal. Si anak sedang ingin belajar apa, saat itulah ia mencari sendiri materi pelajaran yang ingin diketahuinya. Juga kalau ia ingin mencari partner untuk diskusi tentang suatu hal. Disekolah ini, siswa diperbolehkan memilih ikut UN atau tidak... yang dijadikan standard keberhasilan siswa di sekolah ini adalah pembuatan proyek disertasi di akhir sekolahnya.
Semoga kelak pendidikan di negeri ini mampu menemukan arah yang tepat dan mampu mencerdaskan seluruh komponen bangsa ini hingga membawa kita ke pentas percaturan dunia sebagai bangsa besar yang dihormati dan menjadi panutan yang baik bagi negara lain.
0 comments:
Post a Comment